Hujan lebat sekalipun tak dapat menghalangi nyamuk terbang. Meski
air hujan yang menimpa 50 kali lipat massa tubuhnya, nyamuk tetap tak
terpengaruh. Tetapi, seperti pesawat terbang modern, nyamuk juga
berhenti terbang ketika kabut tebal.
Peneliti dari Georgia Institute of Technology mempresentasikan temuan mereka dalam pertemuan Division of Fluid Dynamics, American Physical Society ke-65, 18-20 November di San Diego, Amerika Serikat.
“Pengaruh dampak air hujan dan kabut terhadap nyamuk amat berbeda,” kata Andrew Dickerson, peneliti Georgia Tech. “Dari sudut pandang nyamuk, kejatuhan air hujan seperti kita ditabrak mobil kecil. Partikel kabut, yang berbobot 20 juta kali lebih ringan daripada seekor nyamuk, hanya seperti ditabrak remah roti. Jadi kabut bagi nyamuk itu kira-kira sama seperti hujan bagi manusia.”
Ketika hujan lebat, rata-rata seekor nyamuk dihantam air hujan setiap 20 detik, tapi partikel kabut terus-menerus menyelubungi nyamuk saat dia terbang. Interaksi nyamuk dengan air hujan sangat singkat, tapi interaksi dengan partikel kabut terus berlangsung dan tak bisa dihindari begitu nyamuk berada dalam kabut tebal. Meski jumlahnya banyak, butiran air dalam kabut sangat kecil sehingga seharusnya tak mempengaruhi kemampuan nyamuk untuk terbang.
Untuk memecahkan teka-teki ini, Dickerson dan rekannya, David Hu, menggunakan videografi kecepatan tinggi. Mereka mengamati penurunan frekuensi kepakan sayap nyamuk dalam kabut tebal. Daya yang dihasilkan cukup kuat untuk mengangkat tubuh nyamuk, tapi gagal mempertahankan posisi tegak yang dibutuhkan untuk terus terbang.
Hal itu terjadi karena dampak kabut terhadap mekanisme pengendali terbang utama nyamuk, yang disebut halteres. Struktur bulat kecil pada sayap belakang ini berukuran sebanding dengan droplet kabut dan mengepak 400 kali per menit, memukul ribuan tetes kabut setiap detik.
Meski secara normal halteres anti-air, tumbukan berulang kali dengan partikel kabut 5 mikron (0,005 milimeter) dapat mengganggu kendali terbang nyamuk. “Halteres juga tak bisa mendeteksi posisi mereka dengan benar dan malfungsi, sama seperti wiper kaca mobil yang tak bisa berfungsi baik ketika hujan terlalu deras,” kata Dickerson. “Studi ini memperlihatkan bahwa, sama seperti pesawat terbang, serangga juga tidak bisa terbang ketika mereka tidak dapat mendeteksi sekelilingnya.”
Peneliti dari Georgia Institute of Technology mempresentasikan temuan mereka dalam pertemuan Division of Fluid Dynamics, American Physical Society ke-65, 18-20 November di San Diego, Amerika Serikat.
“Pengaruh dampak air hujan dan kabut terhadap nyamuk amat berbeda,” kata Andrew Dickerson, peneliti Georgia Tech. “Dari sudut pandang nyamuk, kejatuhan air hujan seperti kita ditabrak mobil kecil. Partikel kabut, yang berbobot 20 juta kali lebih ringan daripada seekor nyamuk, hanya seperti ditabrak remah roti. Jadi kabut bagi nyamuk itu kira-kira sama seperti hujan bagi manusia.”
Ketika hujan lebat, rata-rata seekor nyamuk dihantam air hujan setiap 20 detik, tapi partikel kabut terus-menerus menyelubungi nyamuk saat dia terbang. Interaksi nyamuk dengan air hujan sangat singkat, tapi interaksi dengan partikel kabut terus berlangsung dan tak bisa dihindari begitu nyamuk berada dalam kabut tebal. Meski jumlahnya banyak, butiran air dalam kabut sangat kecil sehingga seharusnya tak mempengaruhi kemampuan nyamuk untuk terbang.
Untuk memecahkan teka-teki ini, Dickerson dan rekannya, David Hu, menggunakan videografi kecepatan tinggi. Mereka mengamati penurunan frekuensi kepakan sayap nyamuk dalam kabut tebal. Daya yang dihasilkan cukup kuat untuk mengangkat tubuh nyamuk, tapi gagal mempertahankan posisi tegak yang dibutuhkan untuk terus terbang.
Hal itu terjadi karena dampak kabut terhadap mekanisme pengendali terbang utama nyamuk, yang disebut halteres. Struktur bulat kecil pada sayap belakang ini berukuran sebanding dengan droplet kabut dan mengepak 400 kali per menit, memukul ribuan tetes kabut setiap detik.
Meski secara normal halteres anti-air, tumbukan berulang kali dengan partikel kabut 5 mikron (0,005 milimeter) dapat mengganggu kendali terbang nyamuk. “Halteres juga tak bisa mendeteksi posisi mereka dengan benar dan malfungsi, sama seperti wiper kaca mobil yang tak bisa berfungsi baik ketika hujan terlalu deras,” kata Dickerson. “Studi ini memperlihatkan bahwa, sama seperti pesawat terbang, serangga juga tidak bisa terbang ketika mereka tidak dapat mendeteksi sekelilingnya.”
→ Leave a comment
Ditulis pada Dunia Binatang
Ikan Beta Bernafas di Permukaan Air Supaya Kuat Bertarung
Ikan Beta si petarung ternyata sesekali mengambil udara di atas permukaan air. Cara ini memungkinkan mereka untuk dapat terus bertempur dengan saingannya.Spesies jantan yang dikenal memperlihatkan sifat agresif itu untuk mempertahankan teritorialnya bisa mengambil oksigen dari udara dan air. Para ilmuwan menganalisa bagaimana ikan memanfaatkan kemampuan mengambil oksigen di udara ini untuk menjaga energi saat pertarungan. Cara ini ternyata meningkatkan penyerapan oksigen.
“Sepertinya insang mereka kecil sehingga harus menghirup udara di permukaan untuk tetap memiliki energi dalam pertarungan,” kata Dr Steven Portugal dari Royal Veterinary College, London. Ia bersama koleganya dari Universitas Queensland, Australia mempublikasikan penelitian ini dalam jurnal Comparative Biology and Physiology Part A.
Ikan petarung (Betta splendens) ditemukan di seluruh Asia Tenggara. Spesies ini tinggal di kolam dan sawah yang beroksigen rendah. “Jantan memiliki banyak hiasan tubuh dan sangat agresif terhadap anggota jenis kelamin yang sama,” kata Portugal. Menurutnya, masyarakat lokal Asia Tenggara telah mengambil keuntungan dari perilaku spesies ini. Menggunakannya sebagai pertarungan seperti ayam petarung.
Dalam laboratorium, tim saling memperkenalkan dua spesies jantan dalam botol terpisah yang didekatkan. Para peneliti menganalisa jumlah gas dalam botol itu sebelum dan sesudah pertarungan untuk memahami berapa banyak energi yang digunakan selama pertarungan dan dimana mereka memperoleh oksigen itu.
“Tampaknya selama perkelahian, mereka tak mendapatkan cukup oksigen. Sehingga mereka harus mengambil oksigen di permukaan,” kata Dr Portugal. Pada saat ikan mengambil oksigen di permukaan, posisi ini adalah terlemah. Sehingga sangat memungkinkan untuk diserang. Tetapi jika gagal, si ikan yang lain akan segera kewalahan dan harus mengambil udara di permukaan. Artinya, posisi lemah ini akan berbalik pada ikan yang satunya dan ia harus mengalami nasib yang sama untuk diserang.