Laman

Tuesday, December 4, 2012

Home » Nenek Moyang Kopi Indonesia Akan Punah Tahun 2080

Nenek Moyang Kopi Indonesia Akan Punah Tahun 2080

Sejarah kopi selalu dimulai dari negeri Etiopia dan akan berakhir di sana. Tujuh dekade mendatang, kopi liar yang hidup di hutan tropis negeri itu akan punah untuk selamanya.
Ramalan kepunahan kopi muncul dari analisis peneliti Inggris dan Etiopia yang dilaporkan pada awal November 2012 melalui jurnal ilmiah PLoS ONE. Analisis dikerjakan melalui bantuan mesin pembaca nasib kopi yang dibuat menggunakan program komputer. Kopi pada penelitian ini pun dipiliha, yaitu kopi arabika yang merupakan spesies kopi paling diminati di dunia.
“Kepunahan kopi arabika bisa terjadi pada 2080,” ujar Aaron P. Davis, peneliti dari Royal Botanic Gardens yang berbasis di Surrey, Inggris, dalam kesimpulan laporannya.
Penikmat kopi memang sangat bergantung pada kopi dengan nama spesies Coffea arabica ini. Kopi arabika menguasai 70 persen penjualan kopi di seluruh dunia–30 persen sisanya berasal dari kopi robusta.
Kecanduan penikmat kopi terhadap spesies arabika disebabkan rasanya yang sangat kaya. Ragam rasa kopi arabika merentang mulai dari paling lembut dan manis hingga yang beraroma paling tajam. Biji kopi arabika yang belum disangrai mengeluarkan aroma mirip blueberry. Setelah disangrai, biji kopi ini menebarkan bau harum bercampur aroma manis buah-buahan.
Kopi-kopi yang dihasilkan di Indonesia umumnya berasal dari spesies arabika. Spesies ini masuk ke Indonesia pada masa kolonial. Di Sumatera, terdapat Kopi Gayo dan Kopi Mandailing. Kopi Jawa juga sangat terkenal sehingga nama pulau ini sangat lekat dengan nama kopi. Di Sulawesi, pecinta kopi mengenal Kopi Toraja yang khas. Pulau Dewata juga dikenal dengan produk Kopi Bali. Kopi arabika asal Indonesia dikenal memiliki rasa yang kuat.
Kopi-kopi khas Indonesia–begitu pula kopi arabika lain di seluruh dunia–memiliki akar jauh di Etiopia. Pada 2008, peneliti kopi Surendra Kotecha melalui Coffee Improvement Programme phase IV menyebut Etiopia sebagai gudang genetik kopi arabika. Sebanyak 98,8 persen ragam genetik kopi arabika tersimpan pada pohon-pohon kopi yang tumbuh liar di hutan Etiopia. Kopi arabika yang ditanam di luar Etiopia–termasuk di Indonesia–hanya menyumbang 0,2 persen dari keragaman genetik spesies arabika.
“Kopi arabika liar di Etiopia bersama keragamannya sangat diperlukan dunia,” kata Davis.
Spesies arabika umumnya tumbuh baik di udara bersuhu 18-21 derajat Celsius. Beberapa varietas beradaptasi agar tetap produktif hingga suhu 24-25 derajat Celsius, seperti yang terjadi di perkebunan di timur laut Brasil.
Sayangnya, kata dia, perubahan iklim mengancam kehidupan pohon kopi arabika liar. Peneliti dan petani mengetahui kopi ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Jika suhu meningkat hingga 2 derajat Celsius dari kondisi awal, biji kopi matang lebih cepat dibarengi penurunan kualitas rasa. Kenaikan yang lebih tinggi malah menimbulkan stres terhadap tumbuhan ini. Depresi pada pohon kopi liar biasanya menyebabkan daun menguning bahkan munculnya tumor pada batang.
Data yang dikeluarkan Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2007 memprediksi suhu bumi naik setidaknya 1,8 derajat Celsius pada akhir abad ke-21. Skenario terburuk menyebutkan kenaikan mencapai 4 derajat Celsius. Sebagai perbandingan, kenaikan suhu bumi sepanjang abad ke-20 berkisar antara 0,56-0,92 derajat Celsius, peningkatan signifikan terjadi sejak era 1970-an.
Untuk melakukan analisis, peneliti harus pergi ke museum untuk mengumpulkan data varietas kopi arabika liar. Untuk meniru kehidupan kopi di alam, mereka membuat model penyebaran setiap varietas kopi. Penyebaran ini dijalankan hingga tahun 2080 dengan memperhitungkan efek perubahan iklim.
Model perubahan sebaran kopi arabika liar ini diketahui sebagai yang peratama di dunia. Hasil yang ditampilkan sangat baik, ditunjukkan oleh resolusi data yang mencapai 1 kilometer.
Setelah menjalankan program komputer, mereka bisa melihat pada 2080 kopi arabika liar akan hancur hingga 65 persen untuk skenario perubahan iklim paling minimal. Jika perubahan iklim terjadi sangat ekstrem, 99,7 persen kopi arabika liar akan punah.
“Model ini secara jelas menunjukkan perubahan iklim melahap penyebaran kopi arabika liar,” kata dia.
Davis mengatakan, ancaman kepunahan bisa terjadi lebih cepat dan lebih parah. Sebab, analisis yang ia lakukan hanya memperhitungkan faktor perubahan iklim. Padahal, terdapat faktor perambahan hutan mengancam kehidupan tanaman kopi selama beberapa tahun terakhir di Etiopia.
Faktor negatif lain muncul dari hama dan penyakit. Kopi arabika terkenal sebagai spesies yang sangat sensitif terhadap gangguan organisme lain. Ancaman tambahan muncul pula dari perubahan waktu berbunga dan pengurangan jumlah burung penyebar bibit kopi.

No comments:

Post a Comment

Blogger Wordpress Gadgets