Laman

Tuesday, December 4, 2012

Home » Cara Mengubah Bakteri Menjadi Pestisida Nabati Organik

Cara Mengubah Bakteri Menjadi Pestisida Nabati Organik

HARI belum terlalu siang ketika petani di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) turun ke ladang. Dengan alat bertekanan tinggi, mereka menyemprotkan pestisida ke lahan kentang.
Penyemprotan biasanya dilakukan 2-3 hari sekali. Saat menyemprot, mereka sama sekali tidak menutup hidung dan mulut dengan pengaman. Alasan mereka sederhana, yakni repot.
Tidak mengherankan, berdasarkan riset yang ada, pencemaran pestisida tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga terhadap petani. Jika terus dibiarkan, pencemaran akan berdampak buruk bagi kesehatan petani dan warga yang mengonsumsi kentang.
Setelah melihat kondisi itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Loekas Susanto, mencoba mendekati dan menawari mereka agar menggunakan produk yang ia temukan serta ciptakan, Bio P-60. Produk dari bakteri itu dikenalkan kepada petani dan mereka mulai merasakan dampaknya.
“Dari hasil percobaan yang saya lakukan, ternyata Bio P-60 sangat efektif untuk mengendalikan berbagai macam penyakit pada tanaman kentang,” jelasnya saat ditemui Media Indonesia, Kamis (6/9).
Loekas yang menyelesaikan studi doktoralnya di Belanda menyatakan laporan para petani kentang di Dieng menyebutkan daun busuk yang biasa menjadi salah satu momok ternyata dapat teratasi. Tidak hanya di Dieng, Bio P-60 juga diujicobakan di lahan pertanian milik kelompok pemuda petani Mlethek Srengenge di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas.
Hasilnya menggembirakan karena tanaman lebih cepat dipanen serta tahan terhadap berbagai macam hama dan penyakit. Tidak hanya itu, pestisida nabati Bio P-60 telah dicobakan pada tanaman pangan dan hortikultura lainnya, seperti bawang merah, kacang panjang, serta tanaman perkebunan, misalnya durian dan srikaya.
“Dari laporan para petani yang menggunakan Bio P-60, ternyata memang sangat baik dampaknya,” ujar pria kelahiran Pati tersebut.
Proses panjang
Riset mengenai bakteri Pseudomonas fluorescens dimulai ketika Loekas menempuh pendidikan doktoral di Belanda, 12 tahun silam. Ia mencoba untuk mengisolasi bakteri dari akar gandum di ‘Negeri Kincir Angin’ tersebut.
“Selama ini, dari berbagai macam riset yang ada, bakteri Pseudomonas fluorescens memang sangat bermanfaat. Saya memilih mengkaji lebih mendalam stain P-60. Kajian dan riset yang saya lakukan tidak sebatas apa pengaruh yang ditimbulkan bakteri tersebut atau luarnya, tetapi penelitian terhadap fisiologi dan biokimia dari bakteri itu,” katanya.
Setelah selesai kuliah di Belanda, Loekas bertekad meriset lebih lanjut. Tantangan awalnya ialah mengadaptasi bakteri subtropis itu agar dapat hidup di daerah tropis.
“Inilah tantangan, apakah bakteri tersebut mampu beradaptasi pada daerah tropis mengingat bakteri yang biasa tumbuh pada akar gandum tersebut berada pada daerah subtropis. Saya bersyukur karena setelah melalui berbagai perlakuan, bakteri Pseudomonas fluorescens P-60 itu mampu beradaptasi. Waktu adaptasi cukup panjang, sekitar enam bulan,” lanjutnya.
Barulah Loekas memulai lagi riset terhadap bakteri tersebut secara mendalam. Ternyata setelah bakteri itu diteliti, hasilnya mengejutkan. Pseudomonas Fluorescens mampu memproduksi hormon, antibiotik, dan sejumlah enzim. Kondisinya stabil terhadap perubahan tidak berbahaya bagi manusia. Itu yang paling penting.
“Tahun selanjutnya, saya membuat berbagai macam formula dari limbah seperti limbah tahu, tapioka, sisa tanaman, bahkan tikus. Setelah jadi formula, saya cobakan di lapangan dengan melihat ketinggian tempat, jenis tanaman, dan jenis penyakitnya. Ya, hasilnya itu, bahwa ternyata Bio P-60 mampu menjadi pestisida nabati yang efektif,” tandasnya.
Lebih murah
Sebagai seorang ilmuwan, hasil penelitian Loekas sudah dilirik perusahaan besar di Jakarta. Namun, dengan halus ia menolaknya. Bahan-bahan tersebut akan dikembangkan sendiri dengan nama lain.
“Saat ini, saya tengah mengurus paten terhadap Bio P-60 agar produk itu tetap bisa dibeli dengan harga murah oleh petani. Kalau ada perusahaan yang berminat, silakan saja. Tetapi saya tetap ingin harganya murah, tidak seperti pestisida pabrikan selama ini,” kata Loekas.
Loekas menuturkan harga Bio P-60 cukup murah, hanya Rp30 ribu setiap 1 liternya. Harga tersebut jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga pestisida pabrikan yang bukan pestisida nabati. Harganya bisa sampai ratusan ribu. Apalagi 1 liter Bio P-60 mampu menyemprot sekitar 2 hektare (ha) lahan.
“Jadi, kalau petani menggunakan ini, akan lebih hemat dan tentunya lingkungan tidak mengalami pencemaran. Si petani bahkan juga tidak sakit,” jelas Loekas.
Salah satu profesor asal Unsoed itu juga telah mengantisipasi agar hasil risetnya tidak diklaim orang lain. Bisa saja hal itu terjadi. “Selain mendaftarkan hak paten, saya juga akan membuat bukti dengan marka DNA,” katanya.
Ke depan, ia masih akan meriset bakteri tersebut untuk lebih mengetahui secara detail fisiologi dan biokimia Pseudomonas fluorescens P-60.
“Intinya, saya ingin agar pertanian lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, petani penggarap juga sehat karena tidak tercemari pestisida. Selain itu, produk pertanian lebih sehat serta tidak ditolak pasar luar negeri,” tandasnya.

No comments:

Post a Comment

Blogger Wordpress Gadgets