Tim peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menemukan adanya
tanda banjir bandang yang melanda Kota Padang pada 24 Juli 2012 dan
membuat ribuan jiwa mengungsi, pernah terjadi sebelumnya dengan rentang
waktu lebih dari dua generasi.
Tim yang diturunkan selama dua hari, 28-29 Juli 2012, memperoleh fakta itu berdasarkan penelitian terhadap salah satu rumah di bantaran aliran sungai Limau Manis yang diterjang banjir bandang.
“Terdapat endapan banjir purba di dasar pondasinya. Bahkan di sekitar areal persawahan yang dilewati banjir menunjukkan adanya endapan tanah purba,” kata Salahuddin, anggota tim peneliti UGM, Selasa 14 Agustus 2012.
Salahuddin menjelaskan, kehadiran tanah purba itu mengidikasikan periode banjir dalam rentang waktu yang sangat lama. Diduga kuat, banjir bandang yang menghanyutkan ratusan rumah itu terjadi akibat bendungan alam di aliran sungai Limau Manis yang ada di bukit barisan. “Dugaan kami, sungai limau manis mengalami pembendungan alam akibat erosi,” katanya.
Dari hasil pengamatan di lapangan, Salahuddin menambahkan, banjir bandang sungai itu membawa sedimen beragam ukuran, mulai dari lempung hingga bongkah berdiameter puluhan sentimeter.
Limau Manis memiliki morfologi cekungan yang unik di bagian hulu dengan karakter melebar yang menyerupai ‘sendok’. Diameternya sekitar dua kilometer yang kemudian menyempit menuju ke arah hilir. Karakter morfologi seperti ini dikontrol oleh variasi batuan yang mudah tererosi di suatu tempat membentuk cekungan luas, yang diselingi oleh batuan resisten yang membentuk lembah sempit.
Penyempitan lembah aliran sungai rawan terhadap pembendungan alami, di mana material permukaan seperti tanah, batuan, dan batang pepohonan, mampu membentuk bendung alam di bagian yang sempit, yang pada akhirnya akan menimbulkan pengumpulan massa air di bagian hulu.
“Ketinggian air hulu kritis, bendungan alam tersebut dapat saja runtuh oleh kekuatan gravitasi yang bekerja pada massa air yang besar, dan memicu terjadinya banjir bandang di bagian hilir aliran sungai,” kata dia.
Adapun Faisal Fathani, anggota tim peneliti lainnya, mengatakan kegiatan mitigasi dapat dilakukan pemerintah bersama masyarakat. Di antaranya, penataan alur sungai, penataan daerah hulu, dan penerapan sistem peringatan dini.
“Penataan normalisasi sungai dilakukan dengan mempertahankan sempadan sungai, fungsi badan sungai, mengamankan tebing sungai dari bahaya longsor,” katanya. Sedangkan pembuatan tanggul atau bangunan lain sebagai perlindungan terhadap elevasi muka air tinggi juga diperlukan.
Penataan alur sungai dan pengaturan tata ruang, kata Fathani, mendesak dilakukan terutama terhadap areal persawahan dan pemukiman yang berada di sekitar aliran Sungai Limau Manis. Sementara penataan daerah hulu dilakukan melalui pengawasan ketat kegiatan penebangan (logging) di sekitar daerah tangkapan.
Di samping itu, wacana pembangunan waduk pengendali banjir di daerah hulu sungai-sungai di Kota Padang juga sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir perlu segera direalisasikan. “Waduk ini, di samping berfungsi sebagai pengendali banjir, juga dapat difungsikan sebagai sumber air bersih, pembangkit listrik dan objek wisata,” katanya.
Penerapan sistem peringatan dini banjir bandang pun menurtnya dapat dilakukan dengan menempatkan alat pemantau di bagian hulu dan instrumen peringatan dini kepada warga masyarakat di bagian hilir sungai.
Alat pemantau yang dapat digunakan adalah ARR (Automatic Rainfall Recorder) dan AWLR (Automatic Water Level Recorder) berupa ultrasonic sensor dan sistem pendulum yang ditempatkan di daerah hulu. “Sistem ini telah banyak dikembangkan dan digunakan di beberapa daerah bencana di Indonesia, salah satunya pada aliran sungai vulkanik di Gunung Merapi untuk memantau datangnya aliran lahar dingin,” kata dia.
Tim yang diturunkan selama dua hari, 28-29 Juli 2012, memperoleh fakta itu berdasarkan penelitian terhadap salah satu rumah di bantaran aliran sungai Limau Manis yang diterjang banjir bandang.
“Terdapat endapan banjir purba di dasar pondasinya. Bahkan di sekitar areal persawahan yang dilewati banjir menunjukkan adanya endapan tanah purba,” kata Salahuddin, anggota tim peneliti UGM, Selasa 14 Agustus 2012.
Salahuddin menjelaskan, kehadiran tanah purba itu mengidikasikan periode banjir dalam rentang waktu yang sangat lama. Diduga kuat, banjir bandang yang menghanyutkan ratusan rumah itu terjadi akibat bendungan alam di aliran sungai Limau Manis yang ada di bukit barisan. “Dugaan kami, sungai limau manis mengalami pembendungan alam akibat erosi,” katanya.
Dari hasil pengamatan di lapangan, Salahuddin menambahkan, banjir bandang sungai itu membawa sedimen beragam ukuran, mulai dari lempung hingga bongkah berdiameter puluhan sentimeter.
Limau Manis memiliki morfologi cekungan yang unik di bagian hulu dengan karakter melebar yang menyerupai ‘sendok’. Diameternya sekitar dua kilometer yang kemudian menyempit menuju ke arah hilir. Karakter morfologi seperti ini dikontrol oleh variasi batuan yang mudah tererosi di suatu tempat membentuk cekungan luas, yang diselingi oleh batuan resisten yang membentuk lembah sempit.
Penyempitan lembah aliran sungai rawan terhadap pembendungan alami, di mana material permukaan seperti tanah, batuan, dan batang pepohonan, mampu membentuk bendung alam di bagian yang sempit, yang pada akhirnya akan menimbulkan pengumpulan massa air di bagian hulu.
“Ketinggian air hulu kritis, bendungan alam tersebut dapat saja runtuh oleh kekuatan gravitasi yang bekerja pada massa air yang besar, dan memicu terjadinya banjir bandang di bagian hilir aliran sungai,” kata dia.
Adapun Faisal Fathani, anggota tim peneliti lainnya, mengatakan kegiatan mitigasi dapat dilakukan pemerintah bersama masyarakat. Di antaranya, penataan alur sungai, penataan daerah hulu, dan penerapan sistem peringatan dini.
“Penataan normalisasi sungai dilakukan dengan mempertahankan sempadan sungai, fungsi badan sungai, mengamankan tebing sungai dari bahaya longsor,” katanya. Sedangkan pembuatan tanggul atau bangunan lain sebagai perlindungan terhadap elevasi muka air tinggi juga diperlukan.
Penataan alur sungai dan pengaturan tata ruang, kata Fathani, mendesak dilakukan terutama terhadap areal persawahan dan pemukiman yang berada di sekitar aliran Sungai Limau Manis. Sementara penataan daerah hulu dilakukan melalui pengawasan ketat kegiatan penebangan (logging) di sekitar daerah tangkapan.
Di samping itu, wacana pembangunan waduk pengendali banjir di daerah hulu sungai-sungai di Kota Padang juga sudah berkembang sejak beberapa tahun terakhir perlu segera direalisasikan. “Waduk ini, di samping berfungsi sebagai pengendali banjir, juga dapat difungsikan sebagai sumber air bersih, pembangkit listrik dan objek wisata,” katanya.
Penerapan sistem peringatan dini banjir bandang pun menurtnya dapat dilakukan dengan menempatkan alat pemantau di bagian hulu dan instrumen peringatan dini kepada warga masyarakat di bagian hilir sungai.
Alat pemantau yang dapat digunakan adalah ARR (Automatic Rainfall Recorder) dan AWLR (Automatic Water Level Recorder) berupa ultrasonic sensor dan sistem pendulum yang ditempatkan di daerah hulu. “Sistem ini telah banyak dikembangkan dan digunakan di beberapa daerah bencana di Indonesia, salah satunya pada aliran sungai vulkanik di Gunung Merapi untuk memantau datangnya aliran lahar dingin,” kata dia.
No comments:
Post a Comment