Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya mengapa sejumlah wanita
suka melakukan seks berisiko, seks tak aman atau gonta-ganti pasangan.
Hal ini bukanlah semata karena kebebasan seksual atau rendahnya moral
yang dimiliki para wanita ini. Sebaliknya menurut sebuah studi terbaru,
wanita yang suka seks berisiko justru telah lama mengalami kekerasan.
Kekerasan yang dimaksud bisa berarti mengalami kekerasan secara langsung atau hanya menyaksikan sejumlah kejadian kriminal, baik ketika masih kecil maupun saat sudah beranjak dewasa.
Bahkan secara khusus wanita yang sering mengalami kekerasan secara langsung seperti pelecehan seksual lebih rentan terlibat dalam seks tanpa perlindungan sekaligus cenderung menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol sebelum bercinta.
Sebelumnya, studi tentang hal semacam ini pernah dilakukan sejumlah peneliti terhadap wanita-wanita Afro-Amerika yang seringkali tidak diuntungkan dalam aspek sosio-ekonomi. Namun ternyata peneliti dari India menemukan kesamaan fenomena seks berisiko pada wanita-wanita India.
Psikiater dan psikoterapis Dr. Anjali Chhabria yang menyepakati studi ini berkomentar, “Selama 20 tahun berpraktik, saya telah menemui banyak sekali wanita yang menikmati perilaku seks berisiko. Lalu ketika Anda melihat riwayatnya lebih jauh maka Anda akan menemukan adanya pelecehan emosi dan seksual, kekerasan seksual, bahkan inses.”
“Studi ini juga mengungkapkan tertutupnya masyarakat India terhadap isu seksualitas tak dapat menampik fakta bahwa kasus semacam ini seringkali terjadi diantara mereka. Nyatanya, kasus ini terjadi dimanapun di India, di dalam tingkatan sosial manapun, bahkan sangat umum terjadi pada remaja maupun wanita berusia 50-an,” tambahnya.
Senada dengan Dr. Chhabria, psikiater lain, Dr. Milan Balakrishnan menambahkan bahwa mereka yang terpapar kekerasan, terutama yang mengalami pelecehan seksual di masa kecil tak hanya cenderung memperlihatkan perilaku seksual yang berisiko tinggi dan ketergantungan obat-obatan tetapi juga gangguan internal seperti rentan terkena depresi dan gangguan kecemasan.
Para korban kekerasan seksual ini juga cenderung berubah menjadi orang-orang yang suka mengambil risiko dan nekat, terutama terlihat pada perilaku seksualnya dan lebih sering menunjukkan perilaku impulsif.
Lalu apa penyebabnya? Dr. Chhabria menerangkan bahwa orang-orang yang terpapar kekerasan menjadi lebih peka terhadap kekerasan dibanding orang yang tak pernah mengalaminya sehingga toleransinya juga meningkat.
Bahkan mungkin mereka menemukan tingkat kesenangan tersendiri dan menganggap seks biasa itu membosankan sehingga secara sadar mereka malah mencari-cari kepuasan seksual dengan terlibat dalam seks berisiko sekaligus melakukan perilaku berisiko lainnya yaitu penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan.
“Lagipula meski para korban kekerasan seksual ini berupaya mengubur traumanya sedalam mungkin, mereka menganggap perilaku berisiko itu sebagai ekspresi kemarahan yang tepat. Tak heran jika mereka cenderung ‘membalas dendam’ pada lawan jenis dengan cara memikat perhatian mereka agar mau terlibat dalam seks berisiko,” pungkas Dr. Chhabria seperti dilansir dari timesofindia, Selasa (25/9/2012).
Padahal jelas-jelas seks berisiko akan menempatkan pelakunya pada risiko terserang HIV, penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Kekerasan yang dimaksud bisa berarti mengalami kekerasan secara langsung atau hanya menyaksikan sejumlah kejadian kriminal, baik ketika masih kecil maupun saat sudah beranjak dewasa.
Bahkan secara khusus wanita yang sering mengalami kekerasan secara langsung seperti pelecehan seksual lebih rentan terlibat dalam seks tanpa perlindungan sekaligus cenderung menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol sebelum bercinta.
Sebelumnya, studi tentang hal semacam ini pernah dilakukan sejumlah peneliti terhadap wanita-wanita Afro-Amerika yang seringkali tidak diuntungkan dalam aspek sosio-ekonomi. Namun ternyata peneliti dari India menemukan kesamaan fenomena seks berisiko pada wanita-wanita India.
Psikiater dan psikoterapis Dr. Anjali Chhabria yang menyepakati studi ini berkomentar, “Selama 20 tahun berpraktik, saya telah menemui banyak sekali wanita yang menikmati perilaku seks berisiko. Lalu ketika Anda melihat riwayatnya lebih jauh maka Anda akan menemukan adanya pelecehan emosi dan seksual, kekerasan seksual, bahkan inses.”
“Studi ini juga mengungkapkan tertutupnya masyarakat India terhadap isu seksualitas tak dapat menampik fakta bahwa kasus semacam ini seringkali terjadi diantara mereka. Nyatanya, kasus ini terjadi dimanapun di India, di dalam tingkatan sosial manapun, bahkan sangat umum terjadi pada remaja maupun wanita berusia 50-an,” tambahnya.
Senada dengan Dr. Chhabria, psikiater lain, Dr. Milan Balakrishnan menambahkan bahwa mereka yang terpapar kekerasan, terutama yang mengalami pelecehan seksual di masa kecil tak hanya cenderung memperlihatkan perilaku seksual yang berisiko tinggi dan ketergantungan obat-obatan tetapi juga gangguan internal seperti rentan terkena depresi dan gangguan kecemasan.
Para korban kekerasan seksual ini juga cenderung berubah menjadi orang-orang yang suka mengambil risiko dan nekat, terutama terlihat pada perilaku seksualnya dan lebih sering menunjukkan perilaku impulsif.
Lalu apa penyebabnya? Dr. Chhabria menerangkan bahwa orang-orang yang terpapar kekerasan menjadi lebih peka terhadap kekerasan dibanding orang yang tak pernah mengalaminya sehingga toleransinya juga meningkat.
Bahkan mungkin mereka menemukan tingkat kesenangan tersendiri dan menganggap seks biasa itu membosankan sehingga secara sadar mereka malah mencari-cari kepuasan seksual dengan terlibat dalam seks berisiko sekaligus melakukan perilaku berisiko lainnya yaitu penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan.
“Lagipula meski para korban kekerasan seksual ini berupaya mengubur traumanya sedalam mungkin, mereka menganggap perilaku berisiko itu sebagai ekspresi kemarahan yang tepat. Tak heran jika mereka cenderung ‘membalas dendam’ pada lawan jenis dengan cara memikat perhatian mereka agar mau terlibat dalam seks berisiko,” pungkas Dr. Chhabria seperti dilansir dari timesofindia, Selasa (25/9/2012).
Padahal jelas-jelas seks berisiko akan menempatkan pelakunya pada risiko terserang HIV, penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan.
No comments:
Post a Comment