Tingginya perubahan salinitas yang terdeteksi pada samudra dunia,
memberi sinyal adanya pergeseran dan akselerasi siklus evaporasi dan
curah hujan global. Peneliti Australia dari Commonwealth Scientific and
Industrial Research Organisation (CSIRO) dan Lawrence Livermore National
Laboratory, California, menunjukkan bahwa pola perubahan salinitas
samudra global selama 50 tahun terakhir, menandai sidik jari perubahan
iklim.
Dalam laporan di jurnal Science, peneliti utama studi itu, Paul Durack, mengatakan bahwa dengan mengamati perubahan salinitas laut dan hubungan antara salinitas, curah hujan dan penguapan dalam pemodelan iklim, mereka memastikan bahwa siklus air menguat hingga empat persen dari periode 1950-2000. Angka ini dua kali lipat dari apa yang diproyeksikan oleh model iklim global saat ini.
“Pergeseran salinitas laut mengkonfirmasi perubahan siklus air global dan iklim,” kata Durack. “Perubahan ini menunjukkan bahwa daerah kering akan menjadi lebih kering dan wilayah dengan curah hujan tinggi akan menjadi lebih basah dalam menanggapi pemanasan global.”
Dengan kenaikan suhu diproyeksikan 3 derajat Celsius pada akhir abad ini, para peneliti memperkirakan percepatan siklus air dapat mencapai 24 persen.
Para ilmuwan berusaha keras menentukan perkiraan koheren dari perubahan siklus air dari data lahan karena sulit memperoleh data pengamatan curah hujan dan penguapan di permukaan. Namun Durack dan timnya menyatakan bahwa samudra global memberikan gambaran yang lebih jelas.
“Lautan amat penting bagi iklim, karena laut menampung 97 persen air dunia; menerima 80 persen curah hujan permukaan, dan menyerap 90 persen dari peningkatan energi bumi yang berhubungan dengan pemanasan atmosfer masa lalu,” kata Richard Matear dari CSIRO.
Matear mengatakan, pemanasan permukaan bumi dan atmosfer rendah diperkirakan akan memperkuat siklus air yang dipicu oleh kemampuan udara hangat untuk menyimpan dan mendistribusikan lebih banyak uap air.
Dalam studi tersebut, para ilmuwan mengkombinasikan hasiol observasi perubahan salinitas permukaan global selama 50-tahun dengan perubahan dari pemodelam iklim global. Mereka menemukan bukti kuat adanya peningkatan siklus air global yang makin intensif pada laju sekitar delapan persen per derajat pemanasan permukaan.
Durack mengatakan pola itu tidak seragam, dengan adanya variasi regional yang sejalan dengan mekanisme ”yang kaya akan bertambah kaya”, yaitu daerah basah akan semakin basah dan kawasan kering akan kian kering.
“Perubahan siklus air global dan redistribusi curah hujan akan mempengaruhi ketersediaan pangan, stabilitas, akses dan penggunaannya,” kata Durack.
Dalam laporan di jurnal Science, peneliti utama studi itu, Paul Durack, mengatakan bahwa dengan mengamati perubahan salinitas laut dan hubungan antara salinitas, curah hujan dan penguapan dalam pemodelan iklim, mereka memastikan bahwa siklus air menguat hingga empat persen dari periode 1950-2000. Angka ini dua kali lipat dari apa yang diproyeksikan oleh model iklim global saat ini.
“Pergeseran salinitas laut mengkonfirmasi perubahan siklus air global dan iklim,” kata Durack. “Perubahan ini menunjukkan bahwa daerah kering akan menjadi lebih kering dan wilayah dengan curah hujan tinggi akan menjadi lebih basah dalam menanggapi pemanasan global.”
Dengan kenaikan suhu diproyeksikan 3 derajat Celsius pada akhir abad ini, para peneliti memperkirakan percepatan siklus air dapat mencapai 24 persen.
Para ilmuwan berusaha keras menentukan perkiraan koheren dari perubahan siklus air dari data lahan karena sulit memperoleh data pengamatan curah hujan dan penguapan di permukaan. Namun Durack dan timnya menyatakan bahwa samudra global memberikan gambaran yang lebih jelas.
“Lautan amat penting bagi iklim, karena laut menampung 97 persen air dunia; menerima 80 persen curah hujan permukaan, dan menyerap 90 persen dari peningkatan energi bumi yang berhubungan dengan pemanasan atmosfer masa lalu,” kata Richard Matear dari CSIRO.
Matear mengatakan, pemanasan permukaan bumi dan atmosfer rendah diperkirakan akan memperkuat siklus air yang dipicu oleh kemampuan udara hangat untuk menyimpan dan mendistribusikan lebih banyak uap air.
Dalam studi tersebut, para ilmuwan mengkombinasikan hasiol observasi perubahan salinitas permukaan global selama 50-tahun dengan perubahan dari pemodelam iklim global. Mereka menemukan bukti kuat adanya peningkatan siklus air global yang makin intensif pada laju sekitar delapan persen per derajat pemanasan permukaan.
Durack mengatakan pola itu tidak seragam, dengan adanya variasi regional yang sejalan dengan mekanisme ”yang kaya akan bertambah kaya”, yaitu daerah basah akan semakin basah dan kawasan kering akan kian kering.
“Perubahan siklus air global dan redistribusi curah hujan akan mempengaruhi ketersediaan pangan, stabilitas, akses dan penggunaannya,” kata Durack.
No comments:
Post a Comment